Impact News

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Supratman Andi Agtas, mengatakan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara diusulkan masuk kategori RUU kumulatif terbuka. Perlu diketahui, RUU kumulatif terbuka adalah rancangan undang-undang yang dapat diajukan DPR atau Presiden di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dalam situasi tertentu.

Mengubah jumlah kementerian dalam struktur pemerintahan Indonesia merupakan langkah strategis yang dapat memberikan dampak signifikan terhadap efektivitas dan efisiensi birokrasi negara. Di tengah dinamika politik dan tuntutan reformasi birokrasi yang semakin tinggi, wacana penambahan atau pengurangan kementerian harus dipertimbangkan dengan matang. Hal ini memerlukan pertimbangan objektif yang bebas dari kepentingan pribadi. Walaupun jumlah kementerian adalah sepenuhnya hak presiden, dan presiden pula yang memiliki hak prerogatif untuk memilih menterinya, langkah untuk menciptakan pemerintahan yang efektif harus diperhatikan. Penambahan atau pengurangan kementerian harus didasarkan pada kebutuhan yang objektif, efisiensi birokrasi, dan kepentingan publik, bukan pada kepentingan politik semata.

Dalam konteks Indonesia, penambahan kementerian bisa menciptakan birokrasi yang semakin kompleks dan tidak terkendali. Koordinasi antar kementerian menjadi semakin sulit, menghambat pengambilan keputusan yang efisien dan pelaksanaan kebijakan yang efektif. Bukannya memberikan solusi, penambahan kementerian justru menciptakan hambatan-hambatan baru yang menghalangi upaya-upaya reformasi birokrasi yang sedang berlangsung.

Selain itu, penambahan kementerian juga menyebabkan pemborosan sumber daya yang signifikan. Biaya administrasi pemerintah meningkat secara eksponensial dengan setiap kementerian baru yang didirikan, yang pada gilirannya membebani anggaran negara. Pengeluaran yang semakin meningkat ini tidak selalu diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan publik, sehingga menyia-nyiakan sumber daya yang berharga.

Terlebih, risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan juga meningkat seiring dengan penambahan kementerian. Selama 10 tahun masa pemerintahan Jokowi, tercatat telah ada 6 menteri dan 1 wakil menteri dalam kabinetnya yang terjerat kasus korupsi. Sementara, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menunjukkan penurunan dari 40 pada tahun 2019 menjadi 34 pada tahun 2022, demikian juga dengan penurunan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) dari 3,93 pada tahun 2022 menjadi 3,92 pada tahun 2023 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).

Lebih banyak posisi kekuasaan menciptakan lebih banyak peluang untuk praktik korupsi, sementara mekanisme pengawasan yang lemah memperburuk situasi ini. Hal ini jelas mengancam integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintah. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia (2023), kepercayaan publik kepada presiden dan lembaga-lembaga negara lain berada di angka yang cukup tinggi, yaitu sekitar 70-85%. Pencapaian ini harus tetap dijaga dan jangan sampai menurun karena turunnya integritas pemerintah juga.

Sebaliknya, pengurangan jumlah kementerian dinilai dapat menyederhanakan struktur birokrasi, mempercepat aliran informasi, dan mengurangi biaya administrasi. Namun, hal ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan bahwa tidak ada fungsi penting yang terabaikan. Pembagian tugas dan fungsi yang jelas antara kementerian harus diatur untuk menghindari tumpang tindih atau kekosongan tanggung jawab.

Kendati demikian, hal ini bukanlah akhir dari jalan. Untuk memperbaiki situasi ini, diperlukan langkah-langkah yang berani dan komprehensif. Langkah awal dan esensial dalam mengubah jumlah kementerian adalah memastikan kesesuaiannya dengan UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pastikan bahwa perubahan UU Kementerian Negara memang berdasarkan kepentingan rakyat dan didasarkan untuk memenuhi amanat reformasi birokrasi. Selain itu, proses legislasi harus dilakukan dengan ketat untuk memastikan perubahan tersebut sah secara hukum dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional.

Reformasi ini membutuhkan kolaborasi erat antara eksekutif dan legislatif untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi negara. Salah satu tujuan utama dari reformasi kementerian adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Penambahan kementerian dapat mengakomodasi fungsi-fungsi baru yang diperlukan untuk menghadapi tantangan kontemporer seperti perubahan iklim, teknologi digital, dan isu-isu sosial ekonomi. Untuk itu, perlu dipertimbangkan bahwa menambah atau mengurangi jumlah kementerian tidak akan memperumit birokrasi, menghambat pengambilan keputusan, atau meningkatkan biaya operasional secara signifikan.

Mengubah jumlah kementerian juga perlu mendapat penerimaan dari masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan. Dalam hal ini, DPR sebagai wakil rakyat memiliki peran yang penting dalam menjaring aspirasi dan masukan di bawah. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat proses ini memerlukan komunikasi yang baik untuk menjelaskan alasan dan manfaat dari perubahan tersebut. Pemerintah harus transparan dan melibatkan masyarakat dalam diskusi publik untuk membangun dukungan dan legitimasi politik. Tanpa dukungan publik, perubahan ini mungkin akan menghadapi resistensi yang dapat menghambat pelaksanaannya.

Setelah perubahan disetujui, perlu ada rencana implementasi dan transisi yang jelas untuk memastikan perubahan dapat berlangsung dengan lancar. Ini termasuk penyesuaian struktur organisasi, aliran kerja, dan sistem administrasi yang mendukung operasional kementerian yang baru atau yang telah disederhanakan. Proses transisi harus diawasi dengan ketat untuk menghindari gangguan dalam pelayanan publik. Selain itu, perubahan dalam jumlah kementerian juga memerlukan penyesuaian dalam struktur organisasi dan sistem administrasi yang mendukung operasional kementerian baru atau yang telah disederhanakan. Implementasi dan transisi harus diawasi dengan ketat untuk menghindari gangguan dalam pelayanan publik.

Pengawasan dan evaluasi yang kuat adalah elemen penting dalam memastikan bahwa reformasi kementerian mencapai tujuan yang diinginkan. Pemerintah harus membentuk mekanisme pengawasan yang efektif untuk memantau pelaksanaan perubahan ini. Evaluasi berkala harus dilakukan untuk menilai dampak dari perubahan struktur kementerian dan mengidentifikasi area yang memerlukan perbaikan. Mengubah jumlah kementerian dalam pemerintahan Indonesia adalah keputusan strategis yang memerlukan pertimbangan matang dan komprehensif.

Dengan memperhatikan kesesuaian hukum, efektivitas dan efisiensi pemerintahan, anggaran dan sumber daya, kapasitas sumber daya manusia, stabilitas kebijakan, penerimaan publik, implementasi, dan pengawasan, reformasi ini dapat memberikan dampak positif bagi birokrasi negara. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan pemerintahan yang lebih responsif, transparan, dan akuntabel, serta mampu menghadapi tantangan masa depan dengan lebih baik.

 

 

Felia Primaresti

Peneliti Bidang Politik

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

felia@theindonesianinstitute.com

The post RUU Kementerian: Tambah, Kurangi, atau Cuma Bongkar Pasang? first appeared on The Indonesian Institute.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *