Tanggal 9 Mei 2024 menjadi tahun kedua pasca disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasca disahkannya UU tersebut, pemerintah juga telah menyusun empat rancangan peraturan presiden (ranperpres) serta tiga rancangan peraturan pemerintah (PP). Dua dari ranperpres tersebut telah disahkan.
Peraturan presiden yang telah disahkan tersebut yakni Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan pada 23 Januari 2024 dan terbaru yakni Peraturan Presiden (Perpres) 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Disahkannya dua peraturan pelaksana tersebut menjadi bentuk kemajuan yang berarti dalam upaya membangun mekanisme pelaksanaan pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia. Namun demikian, hal ini masih dinilai belum cukup menimbang masih terdapat beberapa peraturan pelaksana lagi yang harus segera untuk disahkan. Oleh sebab itu, menjadi tanggungjawab bersama untuk mengawal seluruh proses administrasi menimbang transisi pemerintahan dan dinamika politik sedikit banyaknya dapat memengaruhi keberlanjutan dalam pelaksanaan kebijakan UU TPKS.
Di sisi lain, dalam konteks penegakan hukum pada pelaku kekerasan seksual masih menjadi problematika di kalangan masyarakat. Problematika tersebut adalah masih ditemukannya disparitas penghukuman kepada pelaku yang terjadi, baik dalam wilayah pengadilan, antar pengadilan, antar wilayah pengadilan bahkan di antara hakim sendiri. Disparitas penghukuman menjelaskan bahwa terdapat perbedaan putusan hukum yang diberikan kepada dua atau lebih terhadap kasus dengan karakteristik yang sama. Disparitas tidak selalu merupakan hal yang buruk. Bahkan, perbedaan pemberian sanksi pidana justru dibutuhkan dalam kasus-kasus tertentu, seperti kasus yang melibatkan pada penyandang disabilitas sebagai korban.
Problematika disparitas penghukuman dalam sanksi pidana pada kasus kejahatan kekerasan seksual adalah fenomena yang telah lama diketahui masyarakat. Menariknya, meskipun masyarakat sebelumnya dapat memperoleh informasi terkait pasal-pasal yang akan dikenakan kepada pelaku. Namun, vonis putusan hukum inilah yang menciptakan kebingungan di masyarakat. Kebingungan masyarakat disebabkan karena adanya inkonsistensi putusan hakim dalam menjatuhkan penghukuman kepada pelaku. Padahal, dampak yang dialami oleh perempuan maupun anak sebagai korban kekerasan seksual nyaris sama diberbagai kasus. Dampak tersebut yakni rekam jejak kejahatan pelaku yang tersimpan dalam memori ingatan korban (trauma).
Selain itu, kasus kejahatan seksual dalam perkara hukum merupakan satu dari banyak jenis tindak pidana yang seharusnya para hakim telah dapat memastikan dan mengukur (memperkirakan) jenis penghukuman yang tepat diberikan kepada tindak pidana ini. Oleh sebab itu, para hakim harus memastikan penggunaan pasal yang dikenakan dan penghukuman yang tepat melalui standar pedoman putusan hukum. Standar pedoman putusan hukum penting untuk diciptakan menimbang bahwa bias penilaian dan pertimbangan hakim juga turut memengaruhi terjadinya disparitas putusan ini.
Lebih lanjut, masyarakat awam selama ini menilai bahwa putusan hukum yang diberikan oleh hakim dalam memutuskan berbagai perkara pidana akan merujuk pada satu standar pedoman hukum tertentu. Namun demikian, masyarakat agaknya lupa bahwa dalam proses pemutusan hukuman terhadap perkara pidana para hakim dituntut untuk dapat bertindak secara profesional, adil dan bijaksana ada atau tidaknya standar pedoman putusan hukum yang menjadi rujukan dalam membuat sebuah keputusan. Adapun asas yang melandasi hakim dalam memutuskan sebuah perkara tercantum dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim menjadi sebuah standar landasan bagi para hakim untuk tetap menunjukkan sikap netralitas terhadap kedua belah pihak yang berkonflik, termasuk dalam memberi keputusan hukum. Padahal, etika profesionalisme dan standar rujukan putusan hukum merupakan dua hal yang berbeda. Etika profesionalisme hakim merupakan standar yang harus dimiliki oleh jabatan profesi hakim dalam berperilaku. Sedangkan standar rujukan putusan hukum merupakan pedoman para hakim dalam menentukan bentuk penghukuman yang terukur berdasarkan asas dan prinsip keadilan secara objektif. Oleh sebab itu, membangun standar rujukan putusan hukum penting untuk dilakukan. Dengan adanya hal tersebut, diharapkan para hakim dapat memutuskan perkara tanpa harus melibatkan penilaian personal yang hal demikian tentunya akan berdampak pada subjektivitas hakim dalam memandang suatu perkara.
Dewi Rahmawati Nur Aulia
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
dewi@theindonesianinstitute.com
The post Membangun Standar Pedoman Putusan Hukum dalam Upaya Menegakkan Keadilan bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual first appeared on The Indonesian Institute.