Impact News

Hari Populasi Sedunia baru pada tanggal 11 Juli baru kita lewati. Menarik untuk menilik kontroversi pernyataan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo yang terkesan mewajibkan agar setiap wanita dapat melahirkan satu anak perempuan. Dalam keterangan resmi di Jakarta (8/7/2024), ia membantah hal tersebut dan mengatakan rata-rata perempuan punya dua anak itu penting, akan tetapi rata-rata (idealnya) satu anak perempuan itu bukan mewajibkan (tempo.co, 8/7/2024).

Dalam keterangannya, Hasto mengatakan bahwa tujuan pernyataannya tersebut adalah menyampaikan upaya pemerintah dalam membentuk penduduk tumbuh seimbang, yang menjadi salah satu tugas BKKBN. Ia menganalogikan jika suatu wilayah dalam satu kelurahan memiliki penduduk perempuan sebanyak 5.000 jiwa, maka sepuluh tahun lagi perempuan diperkirakan menyisakan hanya 4.500 jiwa. Hal ini tentunya dapat menyebabkan berkurangnya penduduk, karena peran yang dilakukan seperti hamil dan melahirkan hanya dilakukan oleh perempuan (tempo.co, 8/7/2024).

BKKBN sebagai institusi negara nampaknya tidak melihat masalah menurunnya angka kelahiran saat ini adalah permasalahan yang harus ditangani secara holistik. Pasalnya, untuk mengatasi menurunnya angka kelahiran tersebut, BKKBN cenderung menempatkan perempuan sebagai “mesin reproduksi masal”. Hal ini jelas sangat berseberangan dengan semangat kesetaraan yang digaungkan sejak dulu. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang setara dalam mempersiapkan membentuk keluarga yang berkualitas. Hal ini tercermin dari Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (UU No 52/2009).

UU No 52/2009 secara umum menjelaskan beberapa hal, seperti aturan kependudukan, perkembangan keluarga, serta pengembangan kualitas penduduk. Dalam konteks pengembangan kualitas penduduk, hal ini menjadi poin yang menarik. Misalnya pada Pasal 38 ayat (1), disebutkan bahwa “Untuk mewujudkan kondisi perbandingan yang serasi, selaras, dan seimbang antara perkembangan kependudukan dengan lingkungan hidup yang meliputi, baik daya dukung alam maupun daya tampung lingkungan, dilakukan melalui pengembangan kualitas penduduk, baik fisik maupun nonfisik”. Jika merujuk pada pasal di atas, maka dapat diartikan bahwa perkembangan kependudukan harus didukung oleh adanya sumber daya dukung situasi lingkungan, baik secara sumber daya alam, maupun aspek ekonomi dan sosial.

Masih pada konteks di atas, perkembangan kependudukan harus didukung oleh adanya ketersediaan sumber daya alam dan aspek sumber lainnya. Aspek tersebut seperti kesempatan ekonomi, akses pendidikan, kesehatan, dan sistem jaminan perlindungan sosial sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas kehidupan manusia. Menurunnya jumlah angka kelahiran yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini, dapat disebabkan oleh banyaknya tantangan untuk mewujudkan hal tersebut.

Lebih lanjut, perempuan berperan penting dalam menciptakan generasi yang berkualitas. Upaya tersebut dapat dilakukan salah satunya melalui jalur pendidikan. Perempuan dengan masa pendidikan yang lama umumnya  cenderung memutuskan untuk membangun keluarga lebih lambat daripada perempuan dengan masa pendidikan yang lebih pendek. Menurut laporan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), perempuan yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi kini cenderung lebih banyak dibanding laki-laki. Lebih jauh, laporan tersebut menyebutkan sebanyak 75,08% perempuan menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, sedangkan 72,89% laki-laki hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat menengah ke atas (databoks.katadata.co.id, 8/3/2024).

Perempuan dengan masa dan jenjang pendidikan lebih tinggi membuka kesempatan ekonomi yang lebih baik, baik dari segi jenis pekerjaan dan upah yang diterima. Oleh sebab itu, perempuan seharusnya jangan hanya dipandang sebagai hasil konstruksi bentukan masyarakat yang hanya menjalankan peran domestik dan reproduksi.

Demikian pula terkait fungsi reproduksi, hal ini seharusnya menjadi hak dan keputusan pribadi perempuan yang bertanggung jawab atas pilihannya. Di sisi lain, melihat kontroversi pernyataan publik seperti dari BKKBN tersebut, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran para pelaku kebijakan dan pengarusutamaan gender dalam proses kebijakan publik.

 

 

Dewi Rahmawati Nur Aulia
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesia Institute, Pusat Penelitian Kebijakan Publik (TII)
dewi@theindonesianinstitute.com

Pos Menimbang Peran Perempuan dalam Kebijakan Kependudukan di Indonesia pertama kali muncul di Institut Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *