Dinamika politik dalam negeri Indonesia, terutama menjelang Pemilu pada 14 Februari mendatang semakin panas. Hal ini kian menyeruak seiring dengan ramainya isu mengenai ketidaknetralan Presiden Jokowi, yang sebenarnya tidak pernah ia akui secara terbuka. Dugaan ini muncul sebagai respons dari banyaknya gerak-gerik presiden yang belakangan terlihat semakin ”mesra” dengan beberapa petinggi partai pengusung Prabowo-Gibran, seperti Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto, hingga Agus Yudhoyono. Bahkan, dalam satu kesempatan, Presiden Jokowi juga tidak segan-segan menunjukkan kedekatannya ketika makan malam berdua bersama Prabowo Subianto, capres nomor urut 2 yang sekaligus Menteri Pertahanan dalam kabinetnya itu.
Sikap Presiden Jokowi semakin “berani” lagi ketika ia diwawancara oleh wartawan dan menyampaikan bagaimana tanggapannya mengenai banyaknya menteri di kabinetnya aktif berkampanye dan kemudian diduga kuat menggunakan anggaran negara. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa menterinya juga merupakan warga negara Indonesia yang mempunyai hak politik. Sehingga, dapat diartikan bahwa Presiden Jokowi tidak sama sekali keberatan dengan hal tersebut. Bahkan, ia menambahkan jika presiden juga diperbolehkan mengambil cuti untuk kampanye. Pernyataan tersebut menciptakan spekulasi bahwa presiden mungkin akan mengambil cuti untuk mengikuti kampanye. Namun, penegasan terkait batasan dan ketentuan yang berlaku tampaknya menjadi suatu hal yang kurang disorot dalam klarifikasi Jokowi (Kompas, 25/01/2024).
Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks pernyataan ini, Presiden Jokowi seolah-olah melupakan Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang membatasi hak Presiden dan Wakil Presiden untuk melakukan kampanye agar tidak terjadi konflik kepentingan dengan keluarga mereka. Ketiadaan penyebutan aturan tersebut dalam konteks pernyataan Jokowi memberikan ruang bagi pertanyaan lebih lanjut tentang kesadaran dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Hal ini dapat memperdalam keraguan masyarakat terhadap transparansi dan etika politik di Indonesia.
Sikap Presiden Jokowi yang mengindikasikan ketidaknetralan dapat membawa dampak serius terhadap stabilitas politik di Indonesia. Isu ini telah menciptakan ketegangan yang terlihat dari berbagai aspek masyarakat dan dunia usaha. Fenomena di mana beberapa menteri kabinet diyakini akan mengundurkan diri, investor proyek Indonesia New Capital (IKN) yang memutuskan untuk mundur, dan gelombang protes dari masyarakat sipil dan mahasiswa, semuanya menunjukkan besarnya dampak yang dapat terjadi akibat ketidaknetralan yang diindikasikan oleh Presiden.
Kuatnya isu-isu tersebut dapat merusak kestabilan politik dan mengganggu perekonomian nasional. Menteri yang mengundurkan diri dapat menciptakan kekosongan di dalam pemerintahan dan memicu ketidakpastian kebijakan. Keputusan investor IKN untuk mundur juga dapat merugikan ekonomi Indonesia, menghambat pertumbuhan sektor tersebut, dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku bisnis. Gelombang amarah dari masyarakat sipil dan mahasiswa juga dapat memperparah situasi, menciptakan tekanan sosial dan politik yang lebih besar.
Menghadapi situasi ini, penyelenggara pemilu memegang peran penting dalam memastikan integritas dan keberlanjutan proses demokrasi. Baik KPU maupun Bawaslu harus tegas dalam menetapkan batas-batas yang jelas terkait netralitas presiden dan mengingatkan akan pentingnya menjaga aturan dan regulasi yang berlaku. Peran lembaga perwakilan rakyat, seperti di DPR, MPR, DPRD, maupun DPD juga seharusnya didesak untuk merespons ketidaknetralan tersebut, baik dari presiden, menteri, kepala daerah, maupun jajaran aparat publik lainnya.
Tindakan tegas dari penyelenggara pemilu juga peran para pemangku kebijakan terkait lainnya seperti disebutkan di atas, tidak hanya diperlukan untuk memastikan proses pemilihan yang adil, tetapi juga sebagai langkah preventif untuk menghindari potensi kerusuhan dan ketidakstabilan yang dapat terjadi akibat ketidaknetralan yang dituduhkan. Upaya ini juga sangat penting untuk membantu membangun kepercayaan kembali dalam sistem politik dan memastikan kelangsungan demokrasi, termasuk integritas penyelenggara pemilu dan para pemangku kepentingan terkait, serta penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Felia Primaresti
Peneliti Bidang Politik
The Indonesia Institute, Pusat Penelitian Kebijakan Publik (TII)
felia@theindonesianinstitute.com
Pos Bagaimana Jika Presiden “Turun Gunung” Berkampanye? pertama kali muncul di Institut Indonesia.