Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggulirkan wacana pembentukan Dewan Media Sosial (DMS). Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan DMS nantinya berfungsi untuk mengawal kualitas tata kelola media sosial. DMS ini nantinya berbentuk jejaring atau koalisi independen. DMS bisa berisi organisasi masyarakat sipil, akademisi hingga pelaku industri. Budi mengatakan bahwa DMS bisa menjadi mitra strategis pemerintah dalam pengelolaan media sosial. Hal ini juga termasuk memastikan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di ruang digital (detik.com, 28/5).
Rencana pembentukan DMS sesungguhnya telah bergulir sejak 2023. Gagasan pembentukan DMS tersebut semula dicetuskan oleh lembaga swadaya Article-19 yang kemudian didukung United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Akan tetapi, rencana tersebut dikritik sejumlah pihak karena dinilai sebagai upaya mengatur konten dan ekspresi masyarakat (tirto.id, 31/5).
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom atau SAFEnet Nenden Sekar Arum menilai usulan pembentukan DMS saat ini sudah tidak relevan, terlebih jika pembentukan DMS hanya melalui peraturan menteri saja dan bukan undang-undang. Apabila pembentukan DMS itu dilandasi Permenkominfo maka dikhawatirkan semua keputusan terkait konten hanya dapat dilakukan oleh Kominfo saja (voaindonesia.com, 30/5).
Selanjutnya, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau ELSAM, Wahyudi Djafar mengatakan secara prinsip bila mengacu pada sejumlah standar termasuk panduan yang dibuat UNESCO, otoritas yang mengatur konten media sosial harus dilakukan lembaga independen yang dibentuk undang-undang atau melalui pengadilan. Oleh karena itu, ada kekhawatiran pembentukan DMS di bawah Kominfo hanya akan semakin memperkuat wewenang pemerintah untuk memblokir konten, yang pada akhirnya semakin merepresi kebebasan bereskpresi (voaindonesia.com, 30/5). Padahal kebebasan ekspresi itu sendiri merupakan salah satu hak asasi manusia.
Menjamin Kebebasan Berekspresi di Ruang Digital
Kebebasan berkekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights – DUHAM) dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara. Selain itu, jaminan terhadap kebebasan berekspresi sangat penting, karena untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran (John Stuart Mill dalam Rahmanto, 2016). Dengan kebebasan berekspresi masyarakat dapat melakukan pengawasan dan kritik terhadap jalannya pemerintahan yang tidak baik.
Berkaca pada perkembangan demokrasi dan ruang digital saat ini, terdapat dua aktivitas yang saling berhadapan antara masyarakat dengan pemerintah. Kegiatan pertama adalah yang dimainkan oleh warga, termasuk perwujudan kebebasan berekspresi seperti memberikan kritik dan saran kepada pemerintah. Di sisi lain, pemerintah tidak hanya menjadi entitas yang pasif. Perannya juga salah satunya dengan melakukan pengawasan digital terhadap warga. Hubungan antara warga dan pemerintah kemudian menciptakan interaksi yang tidak setara. Jika pemerintah mengendalikan warga dalam ruang digital, maka pemerintah memiliki posisi dan potensi yang lebih tinggi untuk mempertaruhkan prinsip-prinsip pemerintahan dan demokrasi (Muchtar, dkk, 2021).
Hal ini yang kemudian dikhawatirkan dengan adanya pembentukan DMS, walaupun akan diisi oleh perwakilan organisasi masyarakat sipil, akademisi hingga pelaku industri. Namun, dengan posisi DMS dibawah Kominfo, bisa jadi hanya akan menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah untuk mengatur konten di media sosial. Kondisi ini yang membuat tidak ada jaminan kebebasan berekspresi tidak akan terpasung oleh kepentingan pemerintah di masa depan.
Pengaturan Konten oleh Platform Media Sosial
Media sosial sebagai ruang berekspresi harus tetap terjaga dari kebijakan represif negara maupun pihak-pihak yang membuat ruang digital menjadi tidak sehat. Beberapa platform media sosial sesungguhnya telah memiliki pedoman atau standar komunitas yang mengatur penggunaan media sosial.
Melihat perkembangan saat ini, aturan konten dari Meta dalam ketentuan layanannya telah berkembang dari 292 kata pada tahun 2005 menjadi standar komunitas eksternal saat ini sebanyak 18.662 kata. Peraturan Twitter tahun 2009 hanya sepanjang satu halaman, tetapi sekarang peraturan dari X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, memiliki 17 bidang kebijakan yang berbeda, yang sebagian besar panjangnya sama dengan, atau bahkan lebih panjang dari, peraturan aslinya. Sedangkan, TikTok, memiliki 30 bidang kebijakan berbeda dalam pedoman komunitasnya (Inserra, 2024).
Pada praktiknya, konten-konten tidak layak berdasarkan aturan yang dibuat oleh platform akan dihapus. Misalnya, YouTube menghapus hampir 20 juta video pada tahun 2022. Twitter menghapus 6,5 juta konten pada paruh pertama tahun 2022. Facebook menghapus lebih dari 115 juta konten pada kuartal kedua tahun 2023, tidak termasuk 676 juta akun palsu dan 1,1 miliar konten spam. Beberapa platform mempekerjakan sejumlah orang untuk meninjau suatu konten dan juga menggunakan teknologi Artificial intelligence (AI) untuk menjalankan aturan ini (Inserra, 2024).
Akan tetapi persoalannya, jika Facebook berhasil melakukan moderasi dengan benar sebanyak 99,9 persen, namun masih terdapat hampir setengah juta konten non-spam yang ditindak secara salah pada tahun 2023. Jika YouTube melakukan 1 persen kesalahan dalam keputusan penghapusan kontennya, maka itu berarti ada 200.000 video yang salah dihapus pada tahun 2023 (Inserra, 2024). Artinya, walaupun telah ada upaya yang dilakukan oleh platform untuk menegakan aturan dengan segala sumber dayanya, namun masih menyisakan permasalahan dalam pengaturan konten. Oleh karena itu, permasalahan pengaturan konten bukan hanya tugas platform atau Kominfo saja, tetapi juga harus mengikutsertakan masyarakat sebagai pengguna.
Rekomendasi: Optimalisasi Literasi
Berdasarkan paparan diatas, dibandingkan Kominfo membentuk DMS. Kominfo seharusnya dapat bekerjasama dengan platform media sosial dan organisasi masyarakat sipil untuk mengoptimalkan program-program literasi digital yang telah ada saat ini maupun membuat program kreatif lainnya.
Program literasi digital dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan memperkuat pemahaman pengguna internet terhadap perlindungan digital dan hak digital. Oleh karena itu, pengguna internet tidak hanya menguasai pengoperasian perangkat digital, tetapi juga mengetahui haknya agar dapat digunakan dengan bijak.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute
arfianto@theindonesianinstitute.com
The post DMS dan Masa Depan Kebebasan Berekspresi di Indonesia first appeared on The Indonesian Institute.