Pada 14 Februari 2024, bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilihan umum (Pemilu) secara serentak yakni memilih Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Tingkat Pusat, Provinsi hingga Kabupaten/ Kota, serta memilih Calon Anggota Perwakilan Daerah.
Khusus untuk pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres), berdasarkan Pasal 221 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Pottik. Selanjutnya pada Pasal 222 disebutkan bahwa pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Oleh sebab itu, pada Pemilu 2024 terdapat tiga pasang calon yang didukung oleh koalisi partai politik.
Ketiga pasangan calon tersebut yaitu, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang didukung oleh Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Berikutnya, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka didukung oleh Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN). Kemudian, Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang didukung oleh PDIP dan PPP.
Jika melihat komposisi partai politik dalam masing-masing koalisi memperlihatkan bahwa partai politik yang memiliki ideologi atau basis massa Islam bergabung dengan partai politik yang cenderung nasionalis. Hal ini tentunya seperti yang terjadi pada pemilu-pemilu di era reformasi. Misalnya saja di dua pemilu terakhir yaitu Pemilu 2014 dan 2019.
Berkaca pada Pemilu 2014, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa didukung oleh Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, Demokrat dan PBB. Sedangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) didukung oleh PDIP, PKB, Nasdem, Hanura dan PKPI. Pada tahun 2019, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin didukung oleh PDIP, Golkar, PKB, NasDem, PPP, Hanura, PKPI, Perindo, PSI, PBB. Sedangkan lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno didukung oleh Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan Partai Berkarya.
Pemilu-pemilu di era reformasi terjadi kecenderungan memudarnya persaingan politik berdasarkan aliran ideologi. Mayoritas partai-partai di Indonesia yang didirikan setelah reformasi, cenderung tergolong dalam tipologi catch-all parties (Mellaz dan Kartawidjaja, 2018). Memudarnya ideologi dalam konstelasi politik pasca reformasi, membuat parpol cenderung pragmatis dan transaksional. Hal ini menjadikan ideologi dan platform politik tidak lagi menjadi pijakan utama dalam berkontestasi. Semua partai dalam pemilu akhirnya cenderung ke “tengah” atau lebih moderat, dan berebut suara dari ceruk yang sama dengan partai-partai yang lain. Hal ini yang juga terlihat dalam pembentukan koalisi untuk mendukung calon presiden dan calon wakil presiden.
Kondisi ini juga dipengaruhi oleh sistem pemilu di Indonesia yang mensyaratkan dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik seperti yang dijelaskan pada Pasal 221 dan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tenteng Pemilu diatas. Aturan ini mendorong partai-partai politik untuk dapat mencari anggota koalisi walaupun berbeda ideologi. Namun, tantangan dalam koalisi partai dalam pemilihan presiden di Indonesia biasanya tidak berlangsung cukup lama. Hal ini karena sifat pragmatisme parpol itu sendiri.
Misalnya saja pada Pemilu 2014 terdapat Koalisi Merah Putih yang merupakan koalisi pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Satu persatu anggota koalisi yakni PAN, Partai Golkar dan PPP beralih menjadi partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK. Begitupula pada tahun 2019, dimana PAN dan bahkan Partai Gerindra bergabung dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Melihat hal ini, Müller dan Strøm mengatakan partai memiliki dua tujuan utama, yaitu, pertama untuk bertahan hidup. Kedua untuk mendapatkan kesuksesan. Kedua poin tersebut memang bersifat relatif pada tiap partai. Namun hal itulah yang menjadi tujuan dari berdiri dan eksisnya partai politik. Berdasarkan dua hal tersebut, kita dapat melihat orientasi partai politik. Berdasarkan pendekatan berbasis studi perilaku dan pilihan rasional. Kaare Størm, membagi orientasi partai dalam tiga model yaitu policy seeking, votes seeking, dan office seeking (dalam Mellaz dan Kartawidjaja, 2018).
The Policy-Seeking Party adalah partai yang berorientasi pada maksimalisasi dampak kebijakan yang dihasilkan sebagaimana tercermin dari berbagai literatur tentang fungsi partai, seperti yang dipahami selama ini. Aspek utama dari model ini adalah, orientasi dan prioritas yang tinggi difokuskan pada aspek kebijakan yang diusung oleh partai. Kebijakan ini meliputi tidak saja program-program ataupun artikulasi ideologi partai, termasuk di dalamnya fokus terhadap isu-isu tertentu ataupun tuntutan-tuntutan partai.
The Votes-Seeking Party adalah partai yang berorientasi pada memaksimalisasi suaranya untuk pemenangan pemilu untuk menguasai pemerintahan. Orientasi dasar model partai ini adalah pemenangan pemilu, sedangkan kebijakan ataupun posisi partai terhadap isu lebih lentur. Pada tingkat tertentu, kelenturan tersebut kerap dipergunakan sebagai intrumen ‘manipulatif’, dalam rangka maksimalisasi ataupun menjangkau semakin banyak suara.
The Office-Seeking Party adalah Partai yang berorientasi pada maksimalisasi manfaat dan kontrol atas posisi yang dikuasainya. Orientasi utamanya adalah guna mengamankan posisi atau jabatan ini. Model partai ini berupaya untuk memegang kekuasaan, baik sendirian ataupun berbagi dengan pihak lainnya, baik dalam konteks eksistensi ataupun sebagai sistem penyeimbang, untuk memperoleh akses ke patron. Komitmen terhadap kebijakan merupakan hal yang dihindari oleh partai dalam model ini. Hal itu dipandang kontraproduktif dalam konteks koalisi ataupun pemilu, sebab dapat menjadi serangan terhadap partai lain dan menutup peluang berkoalisi.
Melihat koalisi-koalisi dalam pemilihan presiden dari terutama pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, maka orientasi partai terbagi atas dua klasifikasi, yaitu The Votes-Seeking Party dan The Office-Seeking Party. The Votes-Seeking Party, berorientasi untuk merebut suara demi memenangkan pemilu atau setidaknya lolos dalam parliamentary threshold dengan mendapatkan minimal 4 persen suara pemilih. Kategori ini hampir semua partai masuk dalam kategori ini, kecuali partai pemenang Pemilu 2014 dan 2019 seperti PDI-P.
Sementara, PDI-P sebagai partai pemenang masuk dalam kategori The Office-Seeking Party. Hal ini karena PDI-P sebagai partai pemenang Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, berorientasi untuk memaksimalkan dan mengamankan kekuasaannya. Upaya ini dilakukan untuk mengamankan posisi atau jabatan yang mereka kuasai, walaupun upaya ini dilakukan dengan berbagi kekuasaan dengan partai lainnya dalam koalisi.
Oleh karena itu, melihat kecenderungan dari pemilu-pemilu sebelumnya, akan ada dinamika yang berkembang setelah hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di tanggal 14 Februari ini. Jika hasilnya selesai dalam satu putaran, maka partai-partai dari koalisi pasangan calon yang kalah akan merapat kepada koalisi pemenang atau nantinya menjadi koalisi pendukung pemerintah. Begitupula, jika hasilnya akan ada dua putaran, partai-partai yang koalisi pasangan calonnya kalah akan merapat koalisi yang tentunya berpeluang menang dan memberikan manfaat bagi partai-partai tersebut. Sedangkan masyarakat akan hanya dipertontonkan pragmatisme partai politik dalam memperebutkan kekuasaan belaka.
Berdasarkan paparan diatas, maka sangat penting untuk mendorong reformasi dalam tubuh parpol guna memperbaiki kualitas partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi dan menerapkan demokrasi substansial, dan bukan hanya prosedural. Partai politik seharusnya bukan hanya berorientasi untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi juga berjuang dengan ideologi untuk mendorong kebijakan publik yang lebih baik atau menjadi The Policy-Seeking Party.
Upaya-upaya yang harus dilakukan adalah pertama, penguatan kelembagaan parpol agar menjadi institusi demokrasi yang kuat dan berjalan dengan optimal. Selanjutnya kedua, upaya perbaikan rekrutmen politik. Rekrutmen politik harus dilakukan dengan menerapkan asas kesetaraan dan gender. Kemudian yang ketiga persoalan pendanaan parpol. Saat ini, yang paling penting adalah pemasukan dan penggunaan uang oleh parpol dan calon harus diungkap dan dilaporkan menurut ketentuan yang berlaku, baik yang berasal dari subsidi pemerintah maupun sumbangan. Hal ini dilakukan sebagai bagian implementasi transparansi kepada publik.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute
arfianto@theindonesianinstitute.com
The post Antara Koalisi dan Pragmatisme Parpol Pasca-Pilpres 2024 first appeared on The Indonesian Institute.